Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

link 2

blog

sejarah cisewu


Sejarah Cisewu
Cisewu adalah salah satu Kecamatan terluas di Kabupaten Garut, yakni mencapai 9.483 Ha, dihuni oleh penduduk berjumlah 32.397 jiwa. Menurut data profil Kecamatan tahun 2007, kepadatannya mencapai 187,45 jiwa per KM 2 atau setara dengan 4.628 jiwa per Desa.Cisewu, salah satu kecamatan induk, Kecamatan yang pernah menaungi Caringin dan Talegong sebelum keduanya memekarkan diri. Di sebelah Barat, berbatasan langsung dengan Kab Cianjur, dimana sungai Cilaki menjadi tanda batas. Arah utara di batasi oleh kecamatan Talegong dan Kecamatan Pangalengan-Bandung. Untuk selatan, Kecamatan Caringin menjadi batas.Antara Cisewu-Caringin dan Talegong, ketiganya memiliki sejarah, kultur dan geografi yang hampir sama, kecuali Pantai Ranca Buaya yang kini menjadi ikon tersendiri bagi Kecamatan Caringin.pada awalnya Cisewu hanyalah sebuah kampung bernama Ciangsara. Sekitar abad 18 Ciangsara dikenal sangat angker, menimbulkan kesengsaraan (sangsara), terutama bagi para mereka yang dibuang oleh Kolonial Belanda, ataupun para tahanan yang lari dari Kandang Wesi.
sebelum ditemukannya mata air seribu sebagai cikal bakal nama Cisewu dan penduduk setempat menyebutnya balong sirah. Awalnya pusat pemerintahan berada di Nyalindung, namun menjelang kemerdekaan, dengan berbagai pertimbangan pusat pemerintahan pun di pindahkan Ke Cisewu, dan hingga hari ini tempat itu menjadi komplek pemerintahan kecamatan.
Disebutkan sumber lain, sifatnya legenda turun temurun ( tentu sepihak perlu diluruskan/ karena saya peroleh keterangan ini dari salah satu keturunannya), Penghuni pertama daerah ini adalah dua bersaudara, yakni Embah Jangkung ( kakak ) dan Eyang Papak ( adik ). Keduanya dibuang dari Tasik oleh Belanda akibat menentang sistem tanam paksa. Keduanya tinggal di Kampung yang bernama Sirnagalih, bahkan makam Mbah Jangkung yang terletak di kampung Cihanyir hingga saat ini masih didatangi peziarah.
Kakak beradik itu mengalami konflik dan terlibat perkelahian sengit. Diceritakan oleh sumber, perkelahian itu dipicu oleh persengketaan batas wilayah. Dan akibat dari perkelahian sengit itu, kelak menjadi cikal bakal nama –nama tempat seperti Cinyumput ( persembunyian ), Cihanyir ( bau anyir darah ), Cisamak ( alas tikar tempat berunding ) dll.
Perkelahian berlangsung lama dan tidak ada yang kalah. Kemudian keduanya memutuskan berunding di dareah netral dengan amparan samak/ tikar ( sekarang disebut Cisamak ). Hasil perundingan itu merugikan pihak Mbah Jangkung, karena Eyang Papak menguasai tanah yang lebih luas dan strategis di banding Mbah Jangkung sebagai perintis. Akibatnya, keturunan Eyang Papak kelak lebih leluasa mengelola wilayah startegis dan memilki akses terhadap kekuasaan dibanding Keturunan Mbah Jangkung yang memilih merintis lahan di gunung-gunung.
Sebelum tahun 70 an Cisewu nyaris tidak dikenali, dan menjadi tempat yang tidak diinginkan. Jangankan pemerintah, Kolonial Belanda pun tidak pernah membangun perkebunan teh skala besar di wilayah ini. Mungkin, karena tempat ini didominasi oleh perbukitan nan curam. Belanda hanya membangun akses transportasi sampai ke Genteng-untuk arah Bandung, karena Genteng menjadi batas akhir perkebunan Teh. Sedangkan ke arah Garut, akses transportasi hanya terbatas di Bungbulang. Jadi ketika itu, bagi orang Cisewu yang mau ke Bandung atau ke Garut, harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki sejauh puluhan km demi menumpang mobil yang berada di Bungbulang atau Cukul. Jalan raya mulai dirintis awal tahun 70 an dan mulai diaspal di tahun 1992.

Sumber            : sesepuh cisewu aki salim samsudin
                          Kang April perlidungan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar